Pengertian Amar dan Nahi

Pengertian Amar dan Nahi 

A.    Amar dan Nahi
1.    Pengertian Amar
Amar menurut bahasa berarti perintah, sedangkan menurut istilah:


“ Amar adalah perkataan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih rendah tingkatannya.”
Dengan kata lain, amar adalah suatu lafal yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu perbuatan. Seperti perintah Allah kepada manusia.
2.    Bentuk-bentuk Amar dan Contohnya
Amar atau perintah itu dapat dinyatakan dengan beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut:
a.    Fi’il Amar
Contoh :


“dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat “ (Q.S. al-baqarah : 43)
b.    Fi’il Mudhari’
Contoh :



 “Dan hendaklah di antara kamu yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. “(QS. Ali Imron: 104)
c.    Isim Fi’il Amar
Contoh :



 “Peliharalah akan dirimu” (Q.S al-Maidah : 105)

d.    Isim Masdar
Contoh :



Dan kepada kedua orang tuamu berbuat baiklah” (QS. Al-Baqarah : 83)
e.    Kalimat berita (Kalam Khabar)
Contoh :


 “Hendaklah menahan dirinya” (QS. Al-Baqarah : 228)
f.    Kata lain yang sama artinya dengan faradha, kutiba, amara, dan lain-lain.
Contoh :




“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa” (QS.al-baqarah : 183)
3.    Kaidah-kaidah Amar
a.    Kaidah pertama

“Pada dasarnya perintah itu menunjukkan wajib.”
Tetapi jika ada qarinah yang dapat mengalihkan lafadh Amar itu dari arti wajib kepada arti yang lain sesuai yang dikehendaki oleh qarinah tersebut, antara lain sebagai berikut :
1)    Nadb     artinya sunah atau anjuran
Contoh :


 “Maka hendaklah kamu buat perjanjian makatabah dengan mereka bila kamu mengetahuinya ada kebaikan pada mereka” (QS. An-Nur:33)
2)    Irsyad        artinya membimbing atau memberi petunjuk
Contoh:




 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang sampai masa ditetapkan, hendaklah kamu melunasinya” (QS. Al-Baqarah:282)




3)    Do’a (         ) artinya permohonan.
Contoh


 “Wahai Tuhan kami! Berilah kami kebijakan di dunia dan kebijakan di akhirat” (Qs. Al-Baqarah:201)
4)    Ibadah (        ) artinya membolehkan
Contoh:


 “Makan dan minumlah..... ” (QS. Al-Baqarah:187)
5)    Tahdid (        ) artinya mengancam.
Contoh:


 “Kerejakanlah sekehendakmu” (QS. Fushilat: 40)
6)    Ta’jiz (        ) artinya melemahkan.
Contoh:


 “Buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan al-Qur’an itu” (QS. Al-baqarah: 23)
7)    Ikram (        ) artinya menghormati.
Contoh:


 “masuklah kedalamnya (syurga) dengan sejahtera dan aman” (QS. Al-Hijr: 46)
8)    Tafwidl (            ) artinya menyerah.
Contoh:


 “Putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan” (QS. Thaha: 72).
9)    Talhif (        ) artinya menyesal.
Contoh:

“Katakanlah (kepada mereka)! “Matilah kamu karena kemarahanmu itu (QS. Ali Imron: 199).

10)    Takhyir (            ) artinya memilih
Contoh :



“Barang siapa kikir, kikirlah, siapa mau bermurah hati, perbuatlah. Pemberian Tuhan mencukupi kebutuhan saya.” (Syair Bukhaturi kepada seorang raja).
11)    Taswiyah      artinya persamaan.
Contoh :


Masuklah ke dalamnya (neraka) maka boleh kamu sabar dan boleh kamu tidak sabar, itu sama saja bagimu” (QS. Thaha: 16)
b.    Kaidah kedua
1)    Pada prinsipnya Amar (perintah) tidak menghendaki berulang-ulang.



“Pada prinsipnya Amar (perintah) tidak menghendaki berulang-ulangnya pekerjaan yang dituntut”
Misalnya:


“Dan sesungguhnya ibadah Haji dan Umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah: 196).
Perintah Haji dan Umrah tidak wajib dikerjakan berulang kali, tetapi cukup sekali saja, karena suruhan itu hanya menuntut kita supaya melaksanakannya.
2)    Amar (Perintah) itu menghendaki berulang-ulang.


“Pada dasarnya perintah itu menghendaki  berulang-ulangnya perbuatan yang diminta selagi masih ada kesanggupan selama hidup.”
Misalnya:


Artinya:
“Jika kamu berjunub maka mandilah” (QS. Al-Maidah: 6).




“Kerjakanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir” (QS. Al-Isra: 78).
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa berulangnya kewajiban itu karena adanya sebab atau illat seperti, wajib mandi setiap berjunub dan wajib melaksanakan sholat setiap masuk waktu.
c.    Kaidah ketiga

“perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilah-nya.”
Misalnya, perintah mendirikan sholat berarti perintah untuk berwudhu, karena wudhu merupakan salah satu syarat sholat.
d.    Kaidah keempat

“Pada dasarnya perintah amar(perintah) itu tidak menuntut dilaksanakan segera,”
Misalnya:


“Barangkali siapa diantaramu ada yang sakit atau sedang dalam bepergian jauh, hendaklah mengqadha puasa itu pada hari yang lain” (QS. Al-Baqarah: 183).
Dengan demikian, puasa yang ditinggalkan itu boleh ditunda mengerjakannya, asal tidak melalaikan pekerjaan itu dan sebelum masuk waktu puasa berikutnya.
e.    Kaidh kelima

“Perintah sesudah larangan menunjukan kebolehan.”
Misalnya:


“Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur, sekarang berziarahlah.” (HR. Muslim).

“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadxah Haji, berburulah” (QS. Al-Maidah: 2).
Berdasarkan dua uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa perintah setelah larangan itu hukumnya mubah tidak wajib, seperti berziarah kubur dan berburu setelah haji.



4.    Pengertian Nahi (Larangan)
Nahi menurut bahasa berarti mencegah atau melarang, sedangkan menurut istilah:


“Larangan ibadah tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah tingkatannya.”

5.    Bentuk- Bentuk Nahi dan Contohnya.
Pernyataan yang menunjukan larangan itu ada beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut
a.    Fi’il mudhari’ yang disertai dengan “la nahi”
Misalnya:

“dan jangan engkau memakan harta saudaramu dengan cara batil” (QS. Al-Baqarah: 188).


“Janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi” (QS. Al-Baqarah: 11).
b.    Lafadz-lafadz yang memberikan pengertian haram  atau perintah meninggalkan perbuatan.
Misalnya:

“Diharamkan bagi kamu ibu-ibumu dan anak-anakmu permpuanmu” (QS. Al-Nisa’: 23).


“Dan dilarang dari perbuatan keji dan makmur” (QS. Al-Nahl: 90).

6.    Kaidah-Kaidah Nahi
a.    Kaidah Pertama

“pada dasarnya larangan itu menunjukan haram”
Misalnya:


“dan janganlah kau mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan sejelek-jeleknya jalan” (QS. Al-Isra’ : 32).
Akal yang sehat dapat memahami secara pasti tentang keharusan meninggalkan sesuatu yang dilarang, seperti “Pebuatan Zina”, sehingga perbuatan zina itu hukumnya haram. Kadang-kadang nahi (larangan) digunakan untuk beberapa arti (Maksud) sesuai dengan perkataan itu, antara lain sebagai berikut.

1.    Karahah
Misalnya:

“Janganlah mengerjakan shalat di tempat peristirahatan Unta” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).
Larangan dalam hadist ini tidak menujukan haram, tetapi hanya makruh saja, kaerna tempatnya kurang bersih dan dapat menyebabkan shalatnya kurang khusyu’ sebab terganngu oleh unta.

2.    Do’a
Misalnya:


“Ya Tuhan Kami! Jangan engkau jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan setelah engkau beri petunjuk kepada kami” (QS. Ali Imron: 8).
Perkataan jangnlah itu tidak menunjukkan larangan, melainkan permintaan hamba kepada Tuhannya.

3.    Irsyad        Artinya Bimbingan atau Petunjuk.
Misalnya:


“hai orang-orang yang beriman! Jangalah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan memberatkan kamu” (QS. Al-Maidah: 101).
Larangan diatas hanya merupakan pelajaran, agar jangan menanyakan sesuatu yang akan memberatkan diri kita sendiri.

4.    Tahqir     meremehkan atau menghina
Misalnya:



“Dan janganlah sekali-kali kamu menunjukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada berbagai golongan diantara mereka (orang-orang Kafir) (QS. Al-Hijr: 88).
5.    Tay’is     artinya Putus asa
Misalnya:


“Dan janganlah engkau membela diri pada hari ini ( Hari kiamat)” (QS. Al-Tahrim: 7).

6.    Tahlid     artinya ancaman.
Misalnya:

“tak usah engkau turuti perintah kami”

7.    I’tinas       artinya menghibur.
Misalnya:


“janganlah engkau bersedih, karena sesungguhnya Allah beserta Kita”. (QS. At-Taubah: 40).

b.    Kaidah Kedua

“pada dasarnya larangan mutlaq itu menghendaki pengulangan dalam segala zaman.”
Apabila larangan itu tidak dikaitkan dengan batasan waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti disuruh  untuk meninggalkan selamanya, tetapi jika larangan itu terkait dengan waktu, maka larangan itu berlau bila ada sebab saja.
Misalnya:


“janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk” (QS. An-Nisa’ : 43).

c.    Kaidah Ketiga

“Melarang dari sesuatu itu berarti memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya.”
Misalnya:


“Dan janganlah kamu di muka bumi dengan berlagak sombong” (QS. Lukman: 18).
Larangan tersebut diatas memberikan pemahaman bahwa kita diperintahkan untuk berjalan dengan sikap yang sopan.

d.    Kaidah Keempat

“Pada dasarnya larangan itu menunjukan perbuatan yang dilarang (baik ibadah maupun mu’amalah).”
Misalnya:
Larangan sholat dan puasa bagi wanita yang haid dan nifas, jual beli binatang yang masih dealam kandungan, Hal ini tidak sah dan dilarang oleh Syara’.

B.    ‘Am dan Khas
1.    Pengertian ‘Am
Al’Am (    ) ialah suatu lafadz yang menunjukan makna yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas. Misalnya, Lafadz al insan artinya seluruh manusia
2.    Lafadz-lafadz ‘Am dan contohnya
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk memberi faedah ’Am antara lain
a.    Lafadz Kullun dan Jami’un


“setiap pemimpin (Pemelihara) akan dimintai pertanggun jawaban atas kepemimpinan (Pemeliharanya)”. (H. Bukhari Muslim)


“Dialah yang menjadikan segala apa yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah: 29).
b.    Isim Mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam jinsiyyah


“Dan Allah menghalalkan jualbeli dan mengharamkan Riba” (QS. Al-Baqarah: 275).
Lafadz albai’a (Jual Beli) dan Ar-Riba (Riba), keduanya disebut lafadz ‘Am, karena isim mufrad yang dita’rifkan dengan “Al-Jinsiyyah”.




c.    Lafadz Jama’ yang dita’rifkan dengan idhafah


“Allah mensyari’atkan bagimu (pembagian warisan untuk) anak-anakmu” (QS. An-Nisa: 11).
Lafadz Aulad adalah lafadz jama’ yang di Idafahkan dengan lafadz Kum sehingga menjadi Ma’rifat. Oleh karena itu lafadz tersebut dikatagorikan lafadz ‘Am.
d.    Isim-isim Mausul seperti Al ladzi, Al ladzina, Al lati, al la’I, dan lain sebagainya.



“Dan orang-orang yang meninggal duni adiantara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah Istri-istri itu) menangguhkan diri (iddah) empat bulan sepuluh Hari” (QS. Al-Baqarah: 234).
e.    Isim-isim syarat, seperti man (barang siapa), maa(apa saja), Ayyumaa (yang mana saja).
Misalnya:



“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (Menafkahkan hartanya di jalan Allah), Allah akan melipatgandakan harta kepadanya” (QS. Al-Baqarah: 245).

3.    Pengertian Khas
Khas ialah lafadz yang diciptakan untuk memberikan pengertian satuan-satuan yang tertentu. Misalnya lafadz Muhammad adalah menunjuk pribadi seseorang.
4.    Hukum Lafadz Khas dan Contohnya
Lafadz khas dalam nash syara’ adalah  menunjuk pada dalalah qath’iyyah (dalil yang pasti) terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukan adalah qath’I selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna lain.
Contohnya:


"Barang siapa tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib baginya berpuasa tiga hari dalam masa haji” (QS. Al-Baqarah: 196).
Lafadz tslatsa adalah khas karena tidak mungkin diartikan kurang atau lebih yaitu tiga hari. Sehingga maknanya bersifat qath’iyyah dan hukumnya pun bersifat qath’i.
Sabda Rasulullah SAW.


Pada setiap empat puluh ekor kambing wajib zakatnya seekor kambing” (HR. Abu Dawud).
Lafadz arbaina syanatan dan syatun adalah lafadz khas karena yang pertama menunjyjakn kadar nasib zakat kambing 40 ekor kedua menunjuk kadar wajibnya zakat yaitu seekor kambing.
Dari uraian diatas dapat ditarik suatu perbedaan antara lafadz ‘Am dan lafad Khas sebagai berikut
a.    Lafadz ‘Am itu menunjuk kepada seluruh satuan dari satuan-satuan yang ada, sedang lafadz khas yang mutlaq menunjuk kepada satuan-satuan yang tergolong dalam satuan itu saja.
b.    Lafadz ‘Am dapat mencakup sekaligus seluruh satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya, sedang lafadz khas tidak dapat mencakup seluruh satuan, selain hanya satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.

C.    Mutlaq dan Muqayyad
1.    Pengertian mutlaq dan muqoyyad
Mutlaq menurut bahasa berarti tidak terikat, sedang menurut istilah ialah suatu lafadz tertentu yang tidak terikat yang dapat mempersempit keluasan artinya.
Muqoyyad menurut bahasa berarti terikat. Menurut istilah adalah suatu lafadz tertentu yang terikat oleh lafadz yang lain yang dapat mempersempit keluasan artinya.
2.    Contoh Mutlaq dan Muqoyyad
a.    Mutlaq


“maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur” (QS. Al-Mujadalah: 3).
Pada setiap empat puluh ekor kambing wajib zakatnya seekor kambing” (HR. Abu Dawud).
Lafadz (Budak) dalam ayat tersebut adalah lafadz mutlaq, karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu. Sehingga lafadz raqabatin itu mencakup keseluruhan budak, baik yang mukmin maupun yang kafir.




b.    Muqoyyad



"Dan barang siapa membunuh seoraing mukmin karena bersalah, hendaklah ia memdrdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya. " (QS. An-Nisa' : 92).
Pada ayat ini terdapat lafadz muqayyad yailu: "raqabatin" (budak), lafadz ini dibatasi dangin lafadz "Mukminatin” (yang mukmin), sehingga kalau seseorang membunuh orang mukmin karena bersalah wajib memerdekakan budak yang mukrnin sebagai kifaratnya. Kalau budaknya bukan orang mukmin maka tidak sah.
3.    Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqoyyad
Apabila dalam nash disebutkan dengan lafadz mutlaq, sedangkan di tempat lain disebutkan dengan bentuk muqayyad, rnaka menurut ulama ada ernpat ketentuan:
a.    Kalau keduanya mempunyai persamaan dalam sebab dan hukum, maka harus Berpegang pada muqayyad.
Contoh:


" Diharamkan atas kamu bangkaii darah, dan daging babi ".' (QS. Al-Maidarh: 3). Lafadz (darah) disebut dengan lafadz mutlaq, Sementara pada ayat yang lain disebutkan dengan lafaz muqayyad yaitu :            (darah yang mengalir)
sebagaimana firmanAllah berikut ini:



“Katakanlah, tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharankannya bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.': (QS.Al-An'am: 145).
Dengan melihat ketentuan diatas, maka yang mutlaq diikutkan pada yang muqayyad, karena mempunyai sebab yang sama yaitu keadaannya sama-sama darah dan juga hukumnya sama yaitu haram. Sehingga yang dibuat pegangan hukum adalah surah al-An’am ayat l45 karena lafaznya yang muqayyad (darah yang mengalir).

b.    Beberapa sebab tetapi sama hukumnya
Demikian ini yangmutlaq tidak boleh diikutkan pada yang muqayyad, sementara ulama Syafi’iyah berpendapat yang muflaq diikutkan pada yang muqayyad.

Contoh:


"Orang-arang yang mendzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang meraka ucapkan, maka wajib atas mereka memerdekakan seorang budak sebelum suami istri iti bercampur " (eS. al-Mujadditah: 3).


Ayat lain menjelaskan sebagai berikut:



"Dan barang siapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) memerdekakan budak yang mu'min dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya." (QS- An-Nisa,: 92).
Masalah yang ada dalam dua ayat ini berbeda yaitu tentang dzihar dan permbunuhan tersalah. Hukum terhadap keduanya sama yaitu memerdekakan hamba sahaya. Oleh karena itu, yang dijadikan pegangan adalah memerdekakan hamba sahaya yang beriman, baik terhadap dzihir maupun pembunuhan bersalah.
c.    Sama sebabnya tetapi hukumnya barbeda, ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpegarg pada yang muqayyad, sedang ulama Malikiyah dan Hanabillah berpegang pada masing-masing yaitu yang mutlaq tetap mutlaq dan yang muqayyad tetap Muqoyyad.
Contoh:


“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku”. (QS. al-Maidah: 6).
Ayat yang lain dinyatakan


"Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. al-Maidah: 6)
Menrutu Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah berpegang pada muqayyad yaitu baik wudlu
maupun tayamum harus sampai siku. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat untuk Wudlu sampai siku. (Muqayyad) dan untuk tayamum sampai pergelangan tangan.
(mutlaq).
d.    Jika sebab dan hukumnya berbeda, maka mayoritas ulama berpenapat bahwa mutlaq tidak boleh diikutkan dengan Muqayyadah.
e.   
Contoh:


"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah kedua tangannya” (QS. Al-Maidah: 38)
Ayat yang lain:


"Maka basulhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampqi ke siku". (QS. al-Maidah:6).
Karena sebab dan hukumnya berbeda" maka hendaklah dijalankan sesuai dengan hukum masing-masing.

D.    Matuq dan Mafhum
1.    Pengertian Mantuq dan Mafhum
Mantuq secara bahasa berarti yang diucapkan, secara istilah ialah suatu makna yang ditunjukan oleh bunyi lafadz itu sendiri (menurut ucapannya). Apibila suatu hal atau hukum diambil berdasarkan bumyi dari dalil (ucpan dalil) itu maka yang demikian itu dinamakan mantuq.
Mafhum menurut bahasa artinya dipahami, sedang menurut istilah suatu makna yang tidak ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri menurut pemahaman terhadap ucapan lafadz tersebut. Dengan kata lain apabila ada suatu hal atau hukuman diambil berdasarkan pemahaman terhadap ucapan tersebut dinamakan Mafhum, Mantuq itu maknanya yang tekstual (tersurat), sedangkan Mafhum maknaa yang kontekstual (Tersirat)

2.    Contoh Mantuk dan Mafhum
a.    Mantuq
Contoh:


“Allah menhalalkan jual beli dan mengharamkan Riba”. (QS. Al-Baqarah; 275).
Makna hukum jual beli itu halal dan riba itu haram, langsung ditunjukka secara jelas oleh lafadz ayat tersebut.
b.    Mafhum
Contoh:


“ janganlah engkau katakana kepada keduanya (ibu bapakmu) perkataan cih” Qs; Al-isra ;23.
Secara mantuq ayat ini mengharamkan mengucapkan kata “cih” kepada kedua orang tua. Namun  bagaimana kalau memukul orang tua. Kita akan mendapatkan pemahaman dari ayat tersebut, bahwa mengucapkan kata “cih” saja yang begitu ringan diharamkan apalagi kalau sampai memukulnya tentu ini lebih berat. Tetapi haramnya memukul orang tua tidak ditunjukan oleh lafadz ini, melainkan ditunjukan oleh pemahaman terhadap ayat ini.

3.    Macam-macam mafhum
Mafhum dibagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhakafah.
a.    Mafhum muwafaqah, yaitu sesuatu yang tidak diucapkan itu sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Misalnya mengucapkan kata “cih” kepda kedua orang tua adalah haram, menurut mafhumnya memukul kedua orang tua juga haram, karena keduanya mempunyai ilat yang sama, yaitu sama-sama menyakiti.
1)    Fakwal Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti larangan memukul ibu bapak itu haram hukumnya, sebab mengucapkan kata “cih” saja ( lebih ringan dari pada memukul ) juga diharamkan apalagi memukul kedua oaring tua.
2)    Lahnan Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) itu sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim itu haram, sebab  memakannya juga dihukumi haram, keduanya mempunyai ilat yang sama-sama merusak harta mereka.
b.    Mafhum Mukhalafah, yaitu yang tidak diucapkan berarti bertentangan dengan apa yang diucapkan baik dalam menetapkan hokum maupun meniadakannya. Mafhum mukhalafah terdiri dari enam.
1.    Mafhum sifat, yaitu menetapkan hokum sesuatu berlawanan dengan sifat yang ditetapkan.
Misalnya :


“hendaklah memerdekakan hamba sahaya yang mu’min QS ; An-nisa 92)
Maka kalau mebayar kifarat dengan hamba sahaya tidak mu’min (kafir) dianggap tidak sah.
2.    Mafhum syarat, yaitu menetapkan hokum suatu berkaitan denga syarat. Misalnya : suami boleh memakai sebagaian dari mas kawin istrinya dengan penyerahan senang hati, mafhumnya adalah apabila istri tidak menyerahkan dengan senang hati, maka haram hukumnya.
3.    Mafhum adad, yaitu mempertalikan hokum dengan bilangan tertentu. Misalnya orang yang menuduh zina tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka didera delapan puluh kali. Mafhumnya adalah dapat menghadirkan empat orang saksi mereka tidak jadi didera.
4.    Mafhum ghayah, yaitu menetapkan suatu hokum sampai batas tertentu dan berlaku sebaliknya bila batasan tersebut dilampaui. Misalnya, makan dan minum pada bulan Ramadhan dibatasi sampai terbitnya fajar. Mafhumnya kalau melebihi waktu wajar maka makan dan minum dilarang.
5.    Mafhum hashr, yaitu menetapkan suatu hokum disertai pembatassan tidak melampaui sesuatu diluar batas tersebut. Misalnya, tuan yang telah membebaskan budaknya telah mewarisi peninggalan harta budak tersebut. Mafhumnya selain tuan yang membebaskannya tidak berhak mendapatkan warisan dari budak yang telah dimerdekakannya itu.
6.    Mafhum laqab, yaitu mempertalikan hokum dengan isim alam,  nama jenis dan sebagainya. Selain yang disebutkan berlaku sebaliknya, misalnya, menukar emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras dengan beras, kurma dengan kurma, garam dengan garam, yang serupa (sifatnya) dan sama jumlahnya, suka sama suka.
Apabila penukaran barang sejenis, tidak sama jumlahnya hukumnya riba. Maka mafhumnya adalah selain yang enam jenis tersebut hukumnya tidak riba.

4.    Berhujjah dengan Mafhum
Menjadikan mafhum sebagai dasar hokum pada dasarnya dibedakan sebagai berikut.
1.    Para ulama sepakat membolehkan berhujjah dengan mafhum muqafaqah
2.    Jumhur ulama berpendapat bahwa berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan kecuali mafhum laqab
3.    Ulama hanfiyah, ibnu hazm dan golongan zahiriyah berpendapat bahwa semua mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah.

E.    Mujmal dan Mubayyan
1.    Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Mujmal ialah lafadz yang belum jelas tidak dapat menunjukan arti yang sebenarnya, apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya, Mubayyan ialah lafadz yang jelas maksudnya, tanpa memerlukan keterangan lain untuk menjelaskannya.
2.    contoh Mujmal dan Mubayyan
Mujmal :


0 Response to "Pengertian Amar dan Nahi "

Posting Komentar