(Karya Aliva Inji) Kita semua tahu,sudah banyak remaja usia belasan yang tidak becus menjaga miliknya yang paling berharga, dan hal tersebut bukan hanya pukulan hebat bagi mereka yang mengalaminya, tetapi juga bagi keluarga mereka. Sebagian dari mereka yang hancur itu ada yang otaknya masih waras maka mereka Married by accident [1]. Pada akhirnya, mereka yang Married by accident tidak mampu bertahan lama. Paling-paling hanya tiga atau sepuluh bulan saja Pun paling lama hanya setahun atau dua tahun karena Married by accident bukanlah hubungan yang dilandasi rasa kasih dan sayang. Dasarnya adalah “tuntutan”. Sebagian dari mereka yang hatinya telah mati sungguh tega merenggut hak hidup seseorang. Pada saat tertentu, para perempuan keji itu ikut mati bersama nyawa yang mereka sedang coba lenyapkan.
Delapan belas jam perjalan menuju sebuah Negara Adikuasa ini hampir sebagian besarnya kuhabiskan untuk menangis. Betapa tidak? Aku pergi kesana bukan untuk bertamasya melaikan sebagai imigran legal yang kabur dari negerinya. Jaraknya 14.440,78 kilometer dari negara asalku. Sungguh aku lebih pantas bersusah-susah seumur hidup daripada harus kulakukan perbuatan nista nan keji untuk melenyapkan bau busuk yang ku ciptakan sendiri. Tidak, aku tidak berfikir demikian karena ia yang masih berupa janin ini kelak akan kucintai. Buktinya saja aku pergi dari negeri yang menghinakan perempuan cacat moral sepertiku agar kelak keturunanku ini tidak ditampar mulut-mulut kejam para tetangga.
Hijrah ke negeri orang bukan juga solusi. Pertama, Aku tidak punya tujuan pasti seperti tempat tinggal, sumber penghasilan, arah hidup yang artinya nasibku dipertaruhkan. Lantas, nekad betul diriku kabur ke negeri orang?. Semua kulakukan hanya demi perlakuan sosial yang lebih baik terhadap keturunanku. Orang-orang disini punya suatu budaya aneh yang mendukung niatku barusan yaitu, individualis artinya mereka memiliki sifat tidak suka mencampuri urusan orang alias “masa bodo” dengan urusan orang lain. Mereka merupakan orang-orang yang welcome, tidak menghakimi orang lain selama apa yang kita perbuat tidak merugikan mereka.
Sebelum akhirnya tiba di kota New York, aku punya uang yang cukup untuk mengurus Green card [2]dan passport berikut visa, kemudian untuk membeli tiket pesawat kelas ekonomi. Uang sebanyak itu dari mana?. Kasih sayang orang tuaku. Mereka menguangkan kasih sayang mereka kepadaku. Mereka terlalu sibuk saling menyalahkan satu sama lain. Sebentar- sebentar mereka bertengkar, 5 menit setelah adu mulut, Ibu pergi entah kemana. Ini bukan rumah. Bagiku, ini hanyalah tempat singgah untuk melapas lelah selama Sembilan jam. Itupun hanya terjadi jika aku terlalu lelah menghabiskan hari hingga akhirnya terlelap dan tak lagi mendengar sepatah sumpah serapah yang mereka saling lontarkan. Daripada aku mencoreng muka ayah dan ibuku yang sedang sibuk mengurus surat cerai, lebih baik aku pergi. Ini bukan aib! Tetapi pintu gerbang menuju kebebasan dalam rangka mencari “rumah sejatiku”.
Pukul 03.14 pagi waktu timur, kami para penumpang yang baru saja tiba di Amerika mengantri di konter imigrasi untuk menyerahkan passport kami agar distempel. Selanjutnya, ku saksikan matahari mulai muncul dari sebelah barat pertanda pagi pertamaku di Amerika segera datang dan malam dengan sinar rembulannya mulai menyapa sisi bumi lainnya.
Aku datang kesini sebagai Imigran legal yang tidak punya modal bahkan ongkos. Kini aku duduk di kursi taman di Central Park sambil menyantap Hamburger yang masih mampu ku beli dengan sisa uang di dompet, $312. Bukan uang yang terbilang banyak, bahkan tak cukup untuk bertahan selama seminggu di New York yang keras. Untuk bertahan hidup kemudian muncul ideku yang nekad. Aku Door to door di salah satu aparrtemen di jantung kota New York mencari keluarga yang berminat mempekerjakan aku sebagai Maid[3]. Kebanyakan dari mereka menanyakan lisensi dan dari agency manakah aku berasal. Sampailah aku di lantai 3 apartemen dan bertemu Nyonya Jepsen. Ku ceritakan maksud dan tujuanku datang kemari. Sepertinya ia merasa simpati terhadapku, Dari gelagatnya, ia seperti ingin mempertimbangkan aku dan berkata dalam Bahasa Ingrris “Tunggulah sampai jam 4 sore, suamiku pulang jam 4 sore”.
Pukul 4 sore, Tuan Jepsen yang dinanati-nanti itu akhirnya tiba disini. Nyonya Jepsen menyambut hangat suaminya yang baru pulang. Terlintas di pikiranku sebanyak tiga kali “Seandainya aku dan Haris langgeng, kami pasti bagaikan Nyonya dan Tuan Jepsen”.
Singkat cerita, kembali lagi malam menyapa New York yang cantik dan kini kami bertiga berada di ruang makan di samping dapur. Nyonya Jepsen mulai membuka percakapan tentang permohonanku bekerja sebagai Maid. Ku beri tahu ya, menjadi seorang pembantu rumah tangga bukanlah cita-citaku. Ini terpaksa kulakukan agar dapat bertahan hidup karena Ijazah terakhirku adalah Ijazah SMA. Namun mataku terbelalak. Sungguh aku kaget setengah mati mendengar arah percakapan Nyonya dan Tuan Jepsen. Bagaimana mungkin seseorang yang baru saja mereka kenal ingin mereka rawat sebagai anak?. Aku sedikit menaruh dendam terhadap sebuah ikatan yang disebut keluarga. “Apakah mungkin polanya akan berbeda?” adalah tanggapanku di dalam hati atas kesempatan emas yang mereka berikan.
Sungguh ku fikir setelah kesalahan fatal yang ku lakukan, dunia dan akhirat bakal berubah menjadi kesialan tiada akhir yang terpaksa harus ku jalani. Aku sungguh menyesali perbuatan nista itu. Namun hidup dalam penyesalan abadi adalah kesia-siaan. Sebaiknya aku memperbaiki diri selagi masih ada nafas.
Pola pikir tersebut tidak secara tiba-tiba hadir dan menjadi tujuan hidupku berikutnya. Sebelum lahir dan menancap kuat pola pikir itu di otakku, ku lalui beban moral yang teramat berat ditambah lagi putus cinta dengan bapak si anak. Bukannya dia bajingan atau apalah, hubungan kami sangat dalam namun belum dalam ikatan. Salah siapa aku hamil di luar nikah?. Marah aku terhadap situasi yang waktu itu ku alami. Haris kekasihku juga masih punya cita-cita untuk dikejar. Menuntut tanggung jawabnya apakah itu solusi? Tidak! Apabila begitu, berarti sama saja aku merubah arah hidupnya yang seharusnya ia belajar dalam kondisi ‘remaja’ semestinya, malah ku tuntut ia menjadi bapak. Karena masih labil, pada akhirnya ia akan marah terhadap kondisi yang kami ciptakan bersama. Yang pasti, sedalam apapun perasaan yang kami miliki, sudah pasti kami tidak akan bertahan apabila kami melakukan Married by Accident. Seribu keadaan yang mengikis perasaan kami pasti akan terjadi setelah Married by Accident mulai dari keadaan ekonomi yang belum dapat menunjang, beban pikiran, ditambah mental kami belum siap, percaya deh, pernikahan itu butuh persiapan yang matang karena setelahnya kita bukan hanya berhadapan dengan masalah perasaan tetapi juga semua itu.
Pada saat itu aku antara marah dan bingung. Dari segala sudut pandang aku coba memahami kesalahanku sambil mencari solusi. Sebelum membuncit perut ini ku ambil suatu keputusan yang riskan yaitu, berhijrah ke negeri orang.
Sebenci apapun aku terhadap keluarga, sebetulnya mungkin yang kubenci adalah kondisinya yang waktu itu benar-benar bagai badai tiada berujung. Sekarang harus ku kesampingkan ringkihnya hati atas kelakuan ayah ibu dan peristiwa pahit yang ku alami. Maka ku terima dengan optimis niat Tuan dan Nyonya Jepsen merawat dan membiayaiku sebagai anak asuhnya.
Tuan dan Nyonya Jepsen tak bertuhan. Mereka Hedonis sejati. Keseharian Tuan Jepsen adalah pergi bekerja sejak pukul 07.00 pagi ke Gedung Empire State,New York dan kembali ke rumah pukul empat sore. Nyonya Jepsen yang biasanya hanya menjalani hari sebagai penunggu apartemen sembari menunggu Tuan Jepsen pulang, kini ia punya rutinitas baru yaitu mengantarku ke kampus menggunakan Subaru SUV[4] merah miliknya. Saat akhir pekan tiba, kami bertiga menghabiskan waktu bersama layaknya keluarga bahagia pada umumnya. “Oh, jadi ini yang dinamakan keluarga utuh?”.
Memang betul kami tidak memiliki hubungan darah. Namun kebersamaan kami ini telah membuatku kembali yakin bahwa inilah yang disebut dengan kasih sayang. Aku adalah yang terbuang dan kosong. Kemarin ku jalani hidup dalam kejatuhan, kesendirian dan terbuang lagi. Meski beda bahasa, kasih sayang mereka sebagai orang tua yang haus akan kehadiran seorang anak sungguh terasa betul. Dari situ ku ambil suatu kesimpulan bahwa begitulah kasih sayang yang lebih tepatnya merupakan perbuatan tanpa banyak berkata-kata.
Kujalani hidup sebagai mahasiswi undergraduate jurusan akuntansi di Medaille University, New York. Undergraduate program sama dengan program S1 di Indonesia. Belajar di negara maju seperti Amerika membutuhkan niat dan usaha ekstra. Jika menganggap pergi ke sekolah pada jenjang ini merupakan suatu formalitas dalam rangka mendapat ijazah bergelar Bachelor of Accounting[5]belaka, pemikiran tersebut adalah salah besar. Kembali kudapatkan kesempatan pergi ke bangku sekolah dan merubah nasib namun sekali lagi hidupku tetap berupa perjuangan.
Pukul 3.00 pagi waktu timur, Seorang bayi laki-laki lahir pada usia kandungan 33 minggu. Nyonya Jepsen disampingku selama persalinan berlangsung. Beratnya 1,9 kilogram. Nyonya Jepsen berusia 41 tahun belum pernah merasakan sakitnya melahirkan. Ya,keluarga Tuan Jepsen tidak dikaruniai putra maupun putri. Aku memberi kesempatan Tuan dan Nyonya Jepsen memberi nama pada bayi prematur itu. Neil Nicholas adalah nama yang mereka berikan.
Satu permintaan mereka ajukan kepadaku. Dengan menggunakan bahasa inggris Nyonya Jepsen berkata “Faras, aku ada satu permintaan. Kami ingin mengadopsi Neil, menambahkannya ke daftar anggota keluarga kami. Kami tidak memiliki keturunan. Kami butuh penerus keluarga Jepsen. Tolong difikirkan, ini demi masa depan Neil juga ”. Hal tersebut berarti Neil dan aku akan berstatus kakak-adik. Aku ibunya dan Neil punya bapak namanya Haris, kalau ku turuti maunya keluarga Jepsen, artinya Neil-ku secara hukum adalah milik Tuan dan Nyonya Jepsen. Bila mengingat semua yang telah mereka lakukan kepadaku, keluarga Jepsen telah memperlakukanku dengan sangat baik. Hatiku hancur sambil bertanya “dimana balas budiku kepada mereka apabila kutolak permintaan itu?” Sungguh, lagi-lagi aku berada di posisi serba salah.
Lagi-lagi aku harus mengesampingkan perasaanku. Neil anakku,meski bapaknya tidak bersama kami saat ini, sebetulnya aku yakin kami berdua bisa saja pergi dari apartemen dengan pengahangat ruangan itu kemudian kami membentuk keluarga yang utuh dan saling memiliki di suatu tempat di negeri ini. Namun ku akui keluarga Jepsen sangat berjasa mengangkat kembali derajatku di dunia. Entah lah! Mengubah status ibu menjadi kakak terhadap anak sendiri terasa bagaikan “membuang anak” bagiku.
“Tuan dan Nyonya Jepsen, apakah boleh aku tetap bersama Neil dan kalian meski secara hukum kalian berikan nama Jepsen dibelakang nama Neil Nicholas?”. Sedangkan aku ibunya, mereka memberi sinyal padaku bahwa “Ya aku akan tetap tinggal dan dibiayai oleh mereka namun, mereka akan memiliki cintanya Neil sebagai anak sedangkan untuku, dapatkanlah cintanya Neil sebagai anggota keluarga lain misalnya kakak. Berperanlah sebagai kakak, bukan ibu bagi Neil.”. Batin ku berkata “Neil ku sayang, mudah-mudahan ibu kuat walau hanya bisa mengambil peran “Kakak” dalam hidupmu”.
Kemudian kembali terngiang kilasan nasib yang telah ku alami kemarin. Semuanya kembali membuka luka. Aku juga ingat waktu itu di Bandara, pelukan perpisahanku bersama Haris. Ku beri tahu ia waktu itu bahwa ia punya anak. Ku jelaskan padanya bahwa pacarnya yang berbadan dua ini telah hilang arah dan tujuan hidupnya. Ia yang tengah mengandung tidak akan membuat kekasihnya melalui situasi serumit apa yang dialaminya. Wanita mana yang mau menyayat hatinya, mengorbankan nasibnya supaya lelaki yang dicintainya bisa meraih masa depan yang lebih indah?. Bukan kah semua wanita hamil butuh kasih sayang dan perlindungan? Hampir-hampir aku keguguran karena saking sedihnya.
Beda usiaku dan Neil adalah 17 tahun. Neil hidup dengan dua sertifikat kelahiran dan tentu saja yang ia gunakan seumur hidupnya adalah sertifikat lahir dari keluarga Jepsen. Masa kecil Neil bahagia dengan Andrew Jepsen sebagai ayah, Jeana Jepsen sebagai ibu dan aku? Ibunya, Faras Julian sebagai ‘kakak’. Penuh cinta dan perlindungan. Dua kata tersebut menjelaskan situasi masa kecil Neil hingga usianya yang ke 17., berarti kini usiaku 34 dan Nyonya Jepsen 58.
Di usianya yang ke-17,Tuan Jepsen tutup usia sebab angin duduk. Pagi itu Tuan Jepsen mengeluh bahwa dada sebelah kirinya nyeri hingga ia tak pergi ngantor. Di sebuah ruangan ICU di Rumah Sakit University of Washington Medical Center, Seattle pukul 5 sore, tangis kami pecah mengiringi kepergian Tuan Jepsen. Neil memeluk tubuh Janda Jepsen yang ia anggap sebagai ‘Ibu’. Nyonya Jepsen sedang berduka, aku juga berduka. Meski mereka telah memutus hubungan Ibu dan anak kami, aku sadar bahwa sebetulnya lebih banyak kebaikan dan jasa yang telah Tuan Jepsen lakukan terhadap perubahan nasib kami.
Semenjak kepergian Tuan Jepsen, Neil-ku telah beberapa kali membuat ponselku berdering, perintah dibalik ponsel yang berdering itu memaksaku yang sedang asik ngantor di Gedung Calyon pergi menemui Mr.Harper, Guru BK di SMA Frederick Douglass Academy II Secondary School. Aku dan Neil sangat dekat. Hubungan kami terjalin semakin erat karena aku mengurus ia dengan baik. Dibalik statusku yang sebagai ‘kakak’, aku masih ibunya yang bertanggungjawab dalam hal pembentukan kareakternya Aku berusaha menasehati Neil yang jiwanya sedang memberontak, mengajaknya kepada arah yang baik dengan cara yang disesuaikan dengan usianya. Kadang sambil ku ajak pergi ke toko sepatu Nike atau mampir ke Sevel demi menghibur hatinya yang sedang amarah.
Pernah suatu hari ia berkata “Kak, sebetulnya aku lebih merasa nyaman tinggal di apartemenmu. Aku merasakan suasana rumah. Apa yang telah kau lakukan, datang dan menyelesaikan masalahku di sekolah, sekarang kamu lebih terasa seperti ibu bagiku”. Aku seperti bermimpi mendengar kata-kata Neil barusan. “Apa jangan-jangan secara tidak sengaja ia menemukan sertifikat kelahirannya yang asli dan kata-kata barusan adalah pengungkapannya secara tersirat?” semuanya fana, hayalan semata.
Meski hanya dianggap ‘Kakak’, kian hari aku dan Neil semakin dekat. Aku dan Neil sering menghabiskan waktu bersama kemana saja setelah mobil Ford Focus berwarna putih berhasil ku tebus dari Dealer . Golden Bridge, Central Park, Chinatown di Manhattan, Coney Island dan rencananya pada liburan musim semi Bulan Juni ini, aku dan Neil akan pergi ke Pulau Ibiza, Spanyol lalu ke Kota Milan di Italia. Sebulan sebelumnya, kami tengah duduk menghabiskan sore bersama sambil makan Hamburger di Wendy’s. Kami berhayal akan pergi ke luar negeri. “De, kalau punya uang banyak enaknya ngapain ya?” adalah kalimat yang membuka percakapan kami setibanya di Wendy’s. Ia tidak menyebutkan nama-nama gadget impian atau merek-merek sepatu mahal namun ia langsung menyambar pertanyaanku barusan dengan jawaban “Jalan-jalan ke Ibiza lah!”. Penuh semangat. Ia menjelaskan padaku apa yang ia ketahui soal Pulau Ibiza, ia menggambarkannya dengan amat detil bagai orang yang sudah pernah berkunjung kesana. Rupanya Neil sering berselancar di internet, ia berpetualang ke Pulau itu lewat internet.
Sudah lama ku impikan, menghabiskan uang berbelanja di Kota Milan. Namun aku lebih cinta kepada Neil makanya sebelum pergi ke kota impian, Milan City kami menghabiskan waktu di Pulau Ibiza terlebih dahulu. Neil selalu ingin pergi ke Pulau Ibiza. Waktu itu Neil bilang disana banyak Dj[6] dan Party yang keren.
Dua minggu kami habiskan Summer di Eropa. Kami kembali ke Amerika dan pergi menemui Nyonya Jepsen di apartemen nya. Neil bercerita bahwa ia sangat senang ku ajak pergi ke Ibiza. Meski Kota Milan juga keren, ia tidak begitu menghiraukan pengalaman liburan di Kota Milan. Nyonya Jepsen ringkih di usianya yang menginjak 60 tahun. Suatu hari secara mengejutkan ia memberi pesan padaku. Alangkah kaget aku dibuatnya ketika ia mulai berkata-kata.“Katakan pada Neil yang sesungguhnya sayang, Ia perlu tahu kebenarannya.”. Mengapa orang tua ini suka membolak-balikan keadaan? 18 tahun yang lalu ia inginkan Neil dan kini ia kembalikan anaku di penghujung usianya.
Ku akui memang besar harapanku untuk memiliki Neil sebagai ibunya yang sejati. Sepanjang usia, ia hanya mengerti bahwa Jeane Jepsen adalah ibunya. Hal yang sangat wajar apabila ia hanya mengenal Nyonya Jepsen sebagai ibunya sedang aku adalah kakaknya. Bagaimana tidak? Sejak ia berusia satu hingga delapan belas tahun memang begitu peran dan status kami masing-masing yang telah kami kenalkan ke dalam hidup Neil.
“Neil…ada yang ingin aku katakan kepadamu…”. Kota New York diguyur hujan lebat. Seluruh tirai penutup jendela apartemenku selesai kami tutup. Aku takut akan ada petir menyambar lewat jendela apabila kami biarkan tirai terbuka. “Apa sih ka? Kok nadanya sok serius gitu?”. Lalu dengan tegas ku katakana tentang semuanya. Entah dengan sengaja atau tidak, amanah Si Janda ringkih berhasil mengguncang hubunganku dan Neil. “Kau wanita jalang, lantas dimana bapak ku kalau kau adalah ibuku? Siapa kau ini sebenarnya? Mengapa kau dan ibu membohongi aku seumur hidupku?” Begitu kiranya sepenggal reaksi Neil atas kebenaran yang baru saja ia dengar. “Kau tanyakan langsung kepadanya, ini semua bukan kemauanku Neil”.
Neil mengunci diri di kamar. Aku sedikit khawatir terhadapnya. Betapa tidak? Ia memang benar, Kami telah berbohong kepadanya selama ini. Tapi bagiku, aku punya alasan mengapa ku lakukan hal yang demikian itu. “Anaku Neil, ibu mohon jangan kau kunci hatimu hingga tak mau mengerti alasan dibalik semua ini. Semua ini bukan kemauan ibu…”.
Pagi-pagi sekali Neil membuka pintu. Bukan hanya pintu kamarnya namun juga pintu masuk apartemen. “Neil, kau mau kemana?” aku bertanya kepadanya dengan wajah sembab dan basah bagai Kota New York yang habis diguyur hujan kemarin malam. Neil pergi tanpa pamit bahkan sepatah kata. Kemudian ia membanting pintu tanpa menghiraukan aku. Benar-benar menyayat hati kelakuan anak itu. Kelakuannya barusan kembali membuka luka lama. Dan lagi, di usia 35 tahun aku kembali teringat akan masa laluku yang kelam. Seumur hidup, aku hanya patah hati sebanyak tiga kali. Oleh perlakuan orang tuaku, Mantan kekasihku Haris dan kini Neil anak ku.
Nyona Jepsen menderita Stroke di usianya yang ke 60 tahun. Belum sempat ia memberi pengertian atas semuanya, ia kalah dengan penyakitnya. Tuan dan Nyonya Jepsen berbaring tenang di tanah pekuburan itu. Sedangkan aku dan Neil, pekerjaan kami menumpuk setelah kepergian Nyonya Jepsen yang tak disangka-sangka. Wasiat terakhir Nyonya Jepsen kepadaku telah menghancurkan hubungan baik antara aku dan Neil. Sikap Neil bagaikan menutup diri dariku. Bahkan saat upacara pemakaman Almarhumah Jeane Jepsen ia tak mau menyapaku. Padahal aku tahu ia sedang berduka. “Apa benar ia membuangku dari hidupnya?”. Aku masih memberinya jarak dengan harapan kelak ia akan menerima kenyataan bahwa aku adalah ibu yang telah mengandunya selama 33 minggu.
Aku sendirian ditengah-tengah New York yang megah dan tak pernah tidur. Setiap malam mataku terbelalak karena kesepian. Sekitar pukul 3 pagi, telepon berdering berkali-kali. Aku benci harus bergeser sedikit ke sisi kanan tempat tidurku untuk meraih gagang telepon yang berdering tiada henti. Seorang Police Officer[7] kembali memberi kabar yang menyesakan dada. Neil Nicholas Jepsen menyusul Tuan dan Nyonya Jepsen ke Alam Baka. Polisi bilang ia minum sianida. Aku tak sudi pergi ke kamar jenazah untuk memastikan mayat anaku.
Hari kamis dengan suasana Kota New York yang bergerimis, aku kembali berdiri kehilangan arah dan tujuan hidup. Aku berdiri di tanah pekuburan Marble Cemetery menyaksikan upacara pemakaman Neil Nicholas. Sudah 5 jam lebih aku menangis di samping batu nisan. Ku lepas segala dukaku disini. Neil anak ku tak setangguh ibunya yang bertahan digerus keadaan.
Aku pulang ke Apartemen naik Cab[8].Lalu sebelum sampai, ku sempatkan diri untuk mampir ke Wendy’s sebentar membeli hamburger kesukaan Neil. Aku ingin memakannya sekali lagi untuk mengenang putraku itu. Mungkin aku akan memakannya setiap hari agar ia tetap hidup dalam ingatanku bahkan aku akan segera pergi ke Ibiza hanya untuk mengenangnya meski biayanya sangat mahal.
Apartemenku hanya berjarak empat blok dari sini namun mataku sudahh terlalu sembab apabila aku melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Kembali kulanjutkan perjalanan yang tinggal sebentar lagi sampai dengan naik cab. Episode demi episode masa laluku kembali terlintas seiring perjalan dan lagi Kota New York diguyur hujan di musim gugur. “Engkau lah kesalahan terindah dalam hidupku. Kau membawa perubahan dan pelajaran berarti di hidupku. Tanpa hadirnya dirimu, apa mungkin aku sampai ke Negeri Paman Sam hingga akhirnya bisa meraih gelar Bachelor of Accounting ?”. Aku sangat merindukan Neil sepanjang perjalanan pulang.
Sesampainya di lorong lantai 7 Apartemen Pach East, lututku lemas melihat hantu mondar-mandir di depan pintu masuk. Mataku kembali terbelalak menyaksikan anak Haris yang baru saja dikubur menatapku dengan mata merah. Lantas jasad siapa yang sejak malam ku tangisi tiada henti?. Mungkin akal sehatku sudah hilang akibat dihantam kesedihan yang tiada berujung. Aku sudah tidak waras. Saking hilangnya kewarasanku, ku saksikan hantu anak Haris mendekat dan mendekat. kini jarak kami hanya tinggal sembilan sentimeter.
Catatan :
[1] pernikahan yang terjadi akibat adanya hubungan yang dilarang yang dilakukan oleh 2 orang (pria dan wanita) tanpa ada status yang resmi/sah
[2] Kartu yang berisi status keimigrasian yang mengizinkan penerimanya untuk hidup secara permanent dan bekerja secara komersil dan legal di Amerika Serikat.
[3]Pembantu rumah tangga
[4]Merek mobil di Amerika
[5]Sarjana Akuntansi
[6] Disk Jockey adalah orang yang mahir memilih dan memainkan rekaman suara atau musik yang direkam sebelumnya
[7]Petugas Polisi
[7]Petugas Polisi
[8]Kendaraan umum berupa taksi berwarna kuning di Kota New York
0 Response to "Dilema"
Posting Komentar