Cerpen : Nasi di Bahu



Nasi di Bahu
(Imajinasi di Bawah Hujan)


            Tetes demi tetes air mata mulai turun, seakan mataku tak sanggup lagi menggenangkan air yang terus berteriak untuk keluar.  Tak akan ada yang mengetahui jika saat ini aku sedang menangis. Aku bahkan tak tahu air mata apa yang keluar. Aku hanya melamun dan tak sadar mulai meneteskan air mata.
                Payung yang kupegang sudah terjatuh seakan mengatakan bahwa ia tak kuat lagi untuk melindungiku dari dinginnya dunia ini. Sandal japit yang bahkan lupa aroma kaki milik tuannya, ikut hanyut bersama genangan air hujan yang mengalir.
            Kutadahkan kepalaku, merasakan tetesan air hujan yang mengantarkan hawa dingin. Baju serta celana milikku sudah basah hingga memperlihatkan lekuk tubuhku. Aku sendiri di sini, hanya ditemani pepohonan yang tingginya tak melebihiku. Aku bahkan tak memikirkan jika seandainya petir datang menyambarku.
Sepanjang jalan kenangan kita s'lalu bergadeng tangan.
Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra
Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu
Menambah nikmatnya malam syahdu
Lantunan lagu itu seakan membawaku ke masa lalu, masa laluku bersamanya. Angin semilir yang sebenarnya membuatku kedinginan kini terasa menghangatkan. Entah apa yang terjadi pada diriku, bahkan tubuhku kini mengikuti hatiku.
“Kamu masih ingat aku? Bagaimana kabarmu?”
Aku bermonolog sembari tersenyum tipis dan memejamkan mata, berharap angin yang datang membawa pesanku sehingga ia dapat mendengarnya.
            Dia tak mengindahkanku di sini. Ia tertawa bahagia dengan orang lain di depanku. Buku-buku tanganku sudah memutih karena terlalu keras kugenggam. Mataku menunduk memandang kakiku yang kini tanpa alas.
            Hujan yang deras kini telah mejadi gerimis. Titik-titik air membasahi kulitku yang memucat. Mungkin aku sudah menghabiskan waktu terlalu lama di sini. Aku melupakan tujuan utamaku datang ke sini.
            “Aning... “
            Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku yakin bila ia memanggilku, tetapi aku tak siap untuk melihatnya secara langsung. Aku penasaran bagaimana wajahnya setelah setahun aku tak bertemu dengannya. Aku penasaran apakah tingginya kini sudah melebihiku.
***
            “Jangan lupa ya nduk, nanti jemurannya diambil”
            “Iya, bu”, jawabku.
            Kulangkahkan kakiku turun dari tempat favoritku, kasur untuk mengambil jemuran. Saat keluar, kulihat awan yang saling bergandeng menghasilkan warna kelabu. Waktu yang kutunggu akan segera datang, hujan. Tempat untukku berimajinasi.
***
            Rambutku yang halus kini terasa kasar karena terbasuh air hujan. Wajahku yang tadinya imut kini terlihat menyedihkan. Memang terdengar seperti klise, tapi itulah yang terjadi.
            “Eh fotonya bagus ya?”
            Ia hanya terdiam memandangi ponsel salah satu temanku. Aku yang penasaran mengikuti arah pandang matanya. Ternyata foto yang terlihat adalah salah satu fotoku yang sedang menunjukkan hasil dari percobaan tutorial hijabku.
            Kilasan memori itu datang lagi. Percuma saja usaha yang telah kutorehkan selama ini untuk melupakannya. Aku sudah kehabisan akal untuk melupakannya. Bahkan kini aku sudah berada jauh darinya, tetapi masih saja tak dapat melupakannya.
            “Kamu ikut tantangan engga?”
            Aku mengangguk dengan semangat. Aku telah membayangkan betapa meyenangkannya permainan itu.
            “Kamu harus pacaran sama orang yang kamu suka”
            Aku diam membisu, seluruh tubuhku kaku bak orang lumpuh. Permainan ini sungguh menjebakku. Aku tak mungkin bila menolaknya, aku bisa-bisa dianggap pengecut. Kuanggukkan kepalaku tanda menerima tantangan ini.
            Bodoh! Bagaimana bisa aku menerima tantangan itu? Hal itulah yang kini menjadi bayang-bayangku kala berada di dekatnya.
            Aku tersenyum tipis. Aku mengingat kembali kejadian itu. Aku sangat antusias membicarakan ini dengannya. Dan ia setuju! Catat itu dia mau. Tetapi ah sangat menyedihkan, aku bahkah belum sempat melakukannya, tantangan itu sudah dibatalkan.
***
            Kumasukkan jemuran yang sedang kubawa ke dalam rumah. Suara rintik hujan memanggilku untuk segera keluar lagi.
            Ia menggumamkan sebuah kalimat, kalimat yang sangat kusuka. Suara lembut itu menyedarkanku. Suara dari wanita yang paling kusayangi, ibuku. Ia tak segan-segan menawarkanku sesuatu.
            Lagi-lagi aku tersenyum tipis. Apa yang terjadi padaku? Mengapa aku selalu tersenyum walau tanpa ada suatu hal yang lucu.
***
            Sudah tak ada lagi rintik yang menemaniku. Langit sudah terlalu lelah untuk mengeluarkan kesedihannya. Langit telah selesai dengan ceritanya. Kini aku benar-benar merasa sendiri, tanpa ada yang menjadi sandaranku.
            “Aning.....”
            Samar-samar aku mendengar namaku dipanggil, tetapi seperti angin yang berhembus, aku mengabaikannya.
            “Aning....”
            Lagi-lagi aku mendengar suara itu, kali ini aku yakin bila benar-benar ada yang memanggilku.
            “Eh kamu itu ya, dipanggil daritadi engga denger”, ujarnya dengan menjewer telingaku.
            Sontak aku meringis menahan sakit yang kudera. Sepertinya ini memang akhir bagiku.
            “Kamu ngapain hujan-hujanan daritadi engga selesai-selesai”
            “Apaan sih bu? Aku lagi buat video klip kali”, jawabku cengengesan.
            “Udah sana buruan mandi! Dasar kebanyakan ngayal”, titahnya.
            Baiklah kalian boleh berpendapat apapun tentang diriku. Aku memang gadis belia yang masih menyukai imajinasi. Berperan seolah-olah aku adalah aktris yang sudah terkenal hingga internasional. Berperan seolah-olah aku adalah pemeran utama dari sebuah film yang kugarap sendiri.
            Dan ini memang akhir bagiku. Akhir dari imajinasiku yang sangat tak manusiawi. Saat hujan berhenti dan langit selesai mengeluarkan semua cerita sedihnya bersama air hujan.

.
.
.


Tamat

0 Response to "Cerpen : Nasi di Bahu"

Posting Komentar